Rabu, 21 November 2012

Lirik lagu Dear God "Avenged Sevenfold"


Dear God

A lonely road, crossed another cold state line
Miles away from those I love purpose hard to find
While I recall all the words you spoke to me
Can't help but wish that I was there
Back where I'd love to be, oh yeah

Dear God the only thing yo yeah
I ask of you is
to hold her when I'm not around
when I'm much too far away
We all need that person who can be true to you
But I left her when I found her
And now I wish I'd stayed
'Cause I'm lonely and I'm tired
I'm missing you again oh no
Once again

There's nothing here for me on this barren road
There's no one here while the city sleeps
and all the shops are closed
Can't help but think of the times I've had with you
Pictures and some memories will have to help me through, oh yeah

Dear God the only thing I ask of you is
to hold her when I'm not around
when I'm much too far away
We all need that person who can be true to you
I left her when I found her
And now I wish I'd stayed
'Cause I'm lonely and I'm tired
I'm missing you again oh no
Once again

Some search, never finding a way
Before long, they waste away
I found you, something told me to stay
I gave in, to selfish ways
And how I miss someone to hold
when hope begins to fade...

A lonely road, crossed another cold state line
Miles away from those I love purpose hard to find

Dear God the only thing I ask of you is
to hold her when I'm not around
when I'm much too far away
We all need that person who can be true to you
I left her when I found her
And now I wish I'd stayed
'Cause I'm lonely and I'm tired
I'm missing you again oh no
Once again

Sebelum Matahari Mengetuk Pagi

Leila S.Chudori

Dia tahu, saat matahari mengetuk pagi, akan ada sebuah perubahan besar. Dia tahu, ketika dia menguak tirai jendela, uraian sinar matahari bukan hanya sebagai tanda hari yang baru, tetapi juga ada nafas baru bagi dua orang di majalah Tera: Utara Bayu dan Kara Novena. Dia menatap undangan itu, undangan pernikahan Tara dan Vena.

Di balik tirai, Jakarta masih berwarna hitam. Jarum Jam menunjukkan pukul empat pagi. Satimin merasa matanya pedih. Sepanjang malam, dia tak bisa lelap. Sudah dua hari isterinya menjenguk orangtuanya di Wonosobo. Jadi dia tahu betul yang tengah menyeret sandal dan sibuk menjerang air itu adalah Halimah, puterinya yang baru saja menuntaskan pendidikannya di Akademi Komputer. Halimah…

Satimin duduk di tepi tempat tidur.

Baru saja sebulan silam, Satimin melihat cahaya di mata anaknya. Sembari tersenyum malu, Halimah memperkenalkan Rozali kepada dia dan isterinya. Rozali, yang sehari-hari bekerja sebagai satpam di kompleks perumahan mewah Golden Sun. Yang mewah adalah perumahan yang dijaganya setiap malam. Rozali sendiri adalah anak sederhana, lulusan SMA. Halimah lulus Akademi Komputer. Satimin menggaruk-garuk kepalanya yang sama sekali tak gatal. Kenapa Halimah bisa jatuh cinta pada Rozali yang sekolahnya cuma sampai SMA?

Satimin ingat, dia dan isterinya dengan suara lirih dan lembut mencoba bertanya kabar Eko, putera pemilik toko material bangunan di ujung jalan Seroja. Dan Satimin ingat betul, mata Halimah yang bersinar itu mendadak redup. Dia tidak menjawab. Tidak berkata apa-apa. Dan itu cukup membuat Satimin dan isterinya tak lagi bertanya-tanya. Hanya, Satimin sempat berbisik pada isterinya, sebaiknya undang Eko untuk datang ke rumah dan bermain catur dengannya.

Satimin kembali menatap undangan itu: Utara Bayu dan Kara Novena.
Dia mencium aroma kopi jahe. Halimah sudah meletakkan kopi di ruang televisi. Satimin berdiri.


***

Secangkir kopi hitam dengan parutan jahe dari jari-jari Satimin. Pak Guntur Wibisono yang sesungguhnya tidak rewel. Dia bukan pemimpin yang ingin tampak perlente. Dia bukan pemimpin yang ingin diladeni. Dia menyetir sendiri ke kantor dengan mobil Toyota Kijang yang sudah kusam; sesekali, dia mengantar anak-anaknya ke sekolah jika isterinya harus mengajar di Salemba. Dia juga tak pernah merokok, apalagi minum alkohol. Tapi ada dua, hanya ada dua hal yang harus dilakukan Satimin setiap hari untuk pak Guntur: setiap jam tujuh pagi, saat pak Guntur baru selesai lari pagi, Satimin harus menyediakan kopi jahe. Dan kopi jahe itu harus diracik oleh tangan Satimin.

Satimin bangga betul dengan posisi itu. Kopi hitam yang diseduhnya itu, diberikan parutan jahe yang dikupyur gula merah. Selagi kopi itu masih panas, Satimin akan menyerahkan secangkir kopi yang berkepul itu langsung ke tangan pak Guntur. Beliau menerimanya sembari membaca halaman pertama koran pagi. Dia akan mengangkat wajahnya, tersenyum dan menerima kopinya itu sembari mengucapkan terimakasih yang tulus. Dan itu selalu menjadi pagi yang terbaik bagi seorang Satimin yang sudah mengabdi puluhan tahun di majalah Tera.

Hal kedua, menurut ibu Delia, sekretaris pak Guntur, toples-toples cemilan pak Guntur tak boleh kosong. Adalah Satimin sendiri yang akan menggoreng empat macam kerupuk kesukaan pak Guntur.

Ini juga merupakan kebanggaan Satimin. Hanya dia yang tahu betul bagaimana menggoreng kerupuk kulit, kerupuk ikan, rengginang dan keripik tempe kesukaan pak Guntur hingga menjadi renyah dan kriuk-kriuk hingga membuat pak Guntur ketagihan. Satimin tahu betul, jika ada tamu datang, pak Guntur hanya basa-basi menawarkan toples kerupuk itu pada mereka. Biasanya wartawan Tera tahu itu makanan kesukaan pak Guntur yang tak boleh disentuh, dan mereka akan menolak dengan sopan. Tetapi ada juga satu dua tamu yang –karena tak paham dan ingin menghormati—malah melahap kerupuk ikan dan rengginang itu. Bisa dibayangkan bagaimana wajah pak Guntur itu cemberut selama pertemuan dengan sang tamu.

Pernah suatu kali, Satimin jatuh sakit. Dia sungguh tak tahu siapa yang akan menyediakan kopi jahe atau kerupuk pak Guntur. Dia betul-betul demam dan tak bisa bergerak dari tempat tidur. Akhirnya setelah empat hari absen, Satimin sudah muncul di dapur lantai delapan majalah Tera. Tiba-tiba saja dia mendengar sambutan Tara, bos wartawan di lantai tujuh. Dia bos muda yang paling baik dan ramah.

“Sudah sembuh? Sakit apa? Si Bos marah-marah terus tuh tak ada pak Satimin…” Tara tersenyum. Hanya beberapa detik, lengan Satimin sudah disambar ibu Delia.

“Ayuh, ayuh, tolong buatkan kopi jahe bapak!”

Satimin berani taruhan, ibu Delia yang manis dan berlesung pipit itu hampir saja memeluknya karena saking girang melihat Satimin sudah muncul.

“Ya ya bu…ini saya sedang rebus airnya…”

Belakangan, Satimin baru paham kenapa semua orang menyambut kedatangan Satimin. Rupanya pak Guntur uring-uringan terus karena masalah kopi jahe yang rasanya merusak seluruh semesta. Konon kopi jahe yang dibuat office-boy lainnya ada saja yang tak cocok di lidah beliau, entah kurang jahe, atau kurang gula merah, atau gula merahnya kurang diparut atau ada saja hal lain yang membuat darah pak Guntur melesat ke ubun-ubun. Pokoknya ketidakhadiran Satimin, penyelamat syaraf pak Guntur dalam bidang kopi jahe dan kerupuk empat toples itu, sudah membuat kehidupan majalah Tera porak poranda dilanda ketidaknyamanan.

Akhirnya secangkir kopi jahe itu diterima oleh dua tangan pak Guntur. Dia tersenyum dan mengucapkan terimakasih yang sungguh tulus. Satimin memulai pagi itu dengan hati ringan.


***

Secangkir kopi jahe buatan Halimah tak kalah sedapnya dengan buatan ayahnya. Masih mengepul dan masih kental manis gula merah.

Satimin menghirup kopi itu dengan perasaan gundah gulana. Dia tidak tahu apakah dia gundah karena anaknya sedang kasmaran dengan seorang satpam lulusan SMA, atau dia gundah karena mengkhawatirkan sesuatu yang tidak dia pahami di antara Tara dan Nadira, dua orang yang paling peduli pada Satimin.

Dia menatap cangkir kopinya yang kini sudah tinggal setengah. Kopi jahe memang memiliki banyak sejarah….


***

Jakarta, 1990

Satimin tak paham ekonomi. Tidak paham efisiensi. Tidak paham grafik yang digambar oleh ibu Nella di atas papan tulis putih itu. Demikian juga Odi, Ahmad, Kosim dan empat office-boy yang sudah bekerja di majalah Tera bertahun-tahun. Mereka duduk berderet di ruang Sumber Daya Manusia untuk sebuah pertemuan penting. Tetapi Satimin sama sekali tak paham apa yang ditulis oleh ibu Nella.

Tetapi setelah ibu Nella mengucapkan PHK, barulah Satimin tersedak. PHK? Efisiensi? Pesangon?

“Intinya, ini justru penghargaan untuk kalian semua, karena kalau kalian terus bekerja di sini, maka kalian akan terus menerus menjadi office boy. Itu sebuah dead-end job…”

Satimin berpandangan dengan Odi, Ahmad dan Kosim.

“Ded apa bu?”

“Jadi begini….” Nella meletakkan spidolnya, “kan pak Satimin, pak Odi, pak Kosim pasti suatu hari mau lebih maju kan? Tidak mau jadi Office Boy terus kan?”

Mereka mengangguk perlahan, setengah tak paham.

“Bu Nella mau kasih kami pekerjaan lain?”

“O, bukan. Kami akan membebaskan kalian dari perusahaan ini, agar kalian bisa memilih pekerjaan yang lebih mulia daripada office-boy. Kalian akan mendapat pesangon yang sangat pantas.”

Satimin terperangah, “kenapa bu? Yang bikin kopi jahe pak Guntur nanti siapa?”

Nella tersenyum memegang bahu Satimin, “jangan khawatir. Kami akan menyewa perusahaan office boy cleaning service profesional.”

Dahi Satimin mengkerut. Odi dan Kosim masih terperangah.

“Perusahaan klining serpis….?” Ahmad terbata-bata.

“Begini,” kata Nella mencoba sabar, “kantor ini sudah semakin besar. Kami perlu pelayanan yang cepat dan sigap dan yang professional. Jadi….”

“Tapi saya masih muda dan sigap, bu!” kata Odi memburu.

Nella tersenyum, “Betul Di, tapi kalau Odi mau tetap bekerja sebagai Office Boy, ya melamar saja ke PT Damai Sejahtera, nanti kantor ini urusannya dengan perusahaan itu.”

Keempat office-boy itu terdiam.


***

Cangkir kopi itu sudah kosong. Terdengar suara adzan yang mengusap-usap telinganya. Satimin berdiri menuju kamar mandi dan mengambil air wudhu.
Begitu Satimin selesai mengucapkan salam, dia tiba-tiba merasa dirinya tak lagi berada di tahun 2001; dia merasa terlempar ke masa lalu ketika dia berada di dalam rangkaian salat yang dilakukannya berulang-ulang setelah pertemuan dengan Nella beberapa tahun silam.

Satimin tak tahu apa yang harus dilakukan selain salat meminta petunjuk kepada Gusti Allah. Semula Satimin menjadi imam sementara Odi, Kosim dan Ahmad menjadi tiga makmum yang bertubuh lunglai. Ketika Kosim menangis tersedu-sedu di atas sejadah selesai memberi salam, Satimin buru-buru memeluk bahu Kosim yang sudah seperti puteranya sendiri itu.

Satimin tidak paham jalan lain selain melakukan salat terus menerus. Tiba-tiba saja, dia mendengar anak-anak redaksi di lantai tujuh mengadakan rapat-rapat yang isinya protes terhadap tindakan PHK keempat office-boy itu. Satimin sungguh terkejut, dan juga tidak enak.

Mas-mas dan mbak-mbak redaksi di lantai tujuh sungguh galak jika sedang protes pada manajemen; terutama mas Andara dan mas Yosrizal. Suara kedua wartawan itu seperti dua ekor harimau yang meraung yang ingin melahap orang hidup-hidup. Satimin dan Kosim sempat mengintip ruang rapat itu, pura-pura membawakan kopi panas, Ternyata mereka memang sedang merancang strategi untuk mengadakan pertemuan dengan pihak manajemen. Satimin semakin tidak enak hati karena dia bisa membaca namanya dan ketiga rekannya ditulis sebesar-besar anak gajah di papan tulis putih itu. Apalagi dia melihat mas Tara bertolak pinggang sambil menulis di papan tulis, sementara Nadira mencatat entah apa dengan penuh semangat. Satim semakin meringkuk. Waduh. Apa kata pak Guntur nanti? Apa pak Guntur nanti marah padanya, karena menyangka dia begitu cengeng mengadu pada mas Tara, non Nadira, mas Andara dan mas Yosrizal?

Satimin keluar perlahan dari ruang rapat itu. Dia tak tahu apakah dia harus bangga atau sedih melihat dia dan kawan-kawannya menjadi topik penting dalam rapat akbar redaksi yang tampak begitu riuh rendah dan bergelora itu. Dia bahkan tak mengerti kenapa mas Andara mengepal tinjunya dan berteriak: ”Hidup OB!” Lha, mereka semua kan memang masih hidup? Ndak ada yang mati, to?

Satimin jadi betul-betul khawatir. Bagaimana jika pak Guntur salah paham dan menyangka dia ada di balik itu semua? Satimin lebih baik dipecat daripada pak Guntur menyangka dia seorang pengkhianat.

Buru-buru Satimin meletakkan nampan dan berlari menuju ruang pak Guntur. Kosong. Dia menghampiri meja Delia.

“Bu Delia…”

“Eh, pak Satimin….”

“Maaf bu….pak Guntur ke mana ya….saya…saya ingin ketemu.”

“Looo, kok pak Satimin lupa, kan Bapak ke New York.”

“Oh iya…” tiba-tiba Satimin baru ingat, sejak kemarin dia libur dari tugas rutin menyeduh kopi jahe. Entah karena bingung atau tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Dia melihat empat toples itu. Kalau toples itu tidak segera dimakan, pasti akan segera melempem. Kasihan pak Guntur.

Geruwalan Satimin menuju dapur dan kembali dengan setumpuk kertas minyak di tangannya. Dia segera melapisi kertas minyak pada setiap tutup toples kerupuk pak Guntur, agar kerupuk kesayangan beliau tetap renyah dan tidak melempem. Dari luar, Delia memperhatikan dengan heran.

“Pak Satimin….”

“Ya bu…kalau tidak ditutup kertas minyak, nanti melempem bu. Bapak suka jengkel kalau kerupuknya tidak kriuk kriuk..” Pak Satimin berbicara sambil menyembunyikan kedua matanya.

“Pak Satimin, Pak Guntur masih lama kembali dari New York. Kemungkinan beliau sebulan di sana. Kerupuknya dibawa ke lantai tujuh saja, kasih anak-anak. Tidak bakal kuat disimpan selama itu,” kata ibu Delia mendekati Satimin.

“Oh…sebulan, lama sekali yak…ada rapat apa di sana, lama betul bu?”

“Bukan rapat. Opera pak Guntur mau dipentaskan di sana.”

Satimin mengejap-ngejap matanya yang terasa agak pedas. Dia tak berani bertanya arti opera, karena ibu Delia nampaknya sudah terlihat sibuk dan mulai cemberut. Buat Satimin, kata “opera” terdengar penting sekali.

Satimin mengangguk-angguk sembari menyembunyikan airmatanya yang hampir jatuh. Dia bergegas mengangkut kertas minyaknya dan permisi keluar dari ruang pak Guntur. Delia mendadak merasa dirinya keji. Dia memanggil Satimin.

“Saya sudah dengar keputusan manajemen,”kata Delia, “Kenapa pak Satimin tidak sekalian bergabung dengan perusahaan cleaning service saja,” Delia tiba-tiba merasa bisa membantu.

“Oh….” Satimin menelan ludah, “sudah saya tanya bu, katanya mereka hanya menerima yang usianya 18 sampai 25 tahun saja. Mungkin Kosim dan Odi bisa gabung dengan mereka.”

“Oh…”

Delia terdiam.

“Saya yakin akan ada jalan keluar….” katanya mencoba menghibur. “Saya dengar mas Andara dan mas Yos sedang menyusun ulang corporate strategy.”

Satimin kembali mengangguk-angguk, meski dia tak paham apa arti kata ……………apa itu, susah sekali mengucapkannya. Mungkin itu artinya uang pesangon.
Satimin permisi. Dia berjalan menuju dapur dengan setumpuk kertas minyak di tangannya.
Di dapur, dia duduk di pojok dapur. Sendirian.

Dia tak tahu berapa lama dia tertidur di pojok itu, mungkin sejam. Mungkin dua jam. Mungkin dua malam. Dia sungguh tak tahu. Hingga akhirnya dia merasa ada yang menepuk bahunya dengan lembut. Satimin gelagapan.

Nadira.

Nadira tersenyum mengaduk-aduk secangkir kopi hitam lalu menyodorkannya pada Satimin. Satimin merasa sungguh sungkan dan malu dan mengusap-usap wajahnya.

“Minum pak…”

“Kok Non…”

“Ayo, kopi selalu bikin lebih segala sesuatu lebih enteng….” Tiba-tiba Nadira tertawa, “sebetulnya tidak. Tapi, sudahlah, ayo minum….”

Dengan patuh Satimin menghirup kopi itu. Agak aneh rasanya. Ada susu. Manis sekali. Ini memang kopi milik Nadira dari luar negeri.

“Suka pak?”

Satimin mengangguk, menelan kopi itu dengan berat dan mengusap-usap mulutnya. Sebetulnya tidak enak. Ini susu dengan kopi atau kopi dengan susu? Tapi bagi Satimin, kopi itu kopi terenak di dunia karena diberikan oleh seseorang yang begitu perhatian padanya.

Nadira duduk ngedeprok di sebelah Satimin. Satimin semakin sungkan.

“Nanti celana mbak Dira kotor,”

“Tidak apa, pak….”

“Pak Satimin, saya minta pak Satimin percaya pada kami. Kita semua sedang membicarakan masalah Pak Satimin dan office Boy lainnya dengan Dewan Karyawan. Jadi Pak Satimin tidak boleh berduka. Tidak boleh sedikitpun meneteskan airmata. Tidak boleh lemah. Tidak boleh rontok barang satu tulang tubuh. Tidak boleh ringkih.”

Satimin kembali mengangguk-angguk meski dia tak terlalu paham maksud Nadira. Pastilah maksudnya jangan cengeng. Tapi Non satu ini memang bahasanya seperti bahasa orang yang sedang berdeklamasi, sehingga sering terasa rumit. Dia adalah wartawan yang baru setahun bergabung dengan majalah Tera. Dia tak banyak bicara; tak banyak bergaul, tapi jelas dia sangat senang bekerja. Dan Satimin tahu betul, mas Tara sangat rajin membuatkan kopi untuk Non Nadira. Satimin juga bisa melihat betapa mata mas Tara bercahaya setiap kali membawakan minum untuk Nadira.

Jadi jika Nadira mengatakan Satimin tak boleh cengeng, maka dia akan berusaha sekuat tenaga untuk tidak cengeng; jika Nadira mengatakan tulangnya tidak boleh rontok, Satimin akan memastikan dia tidak akan sakit pinggang atau encok. Jia Nadira mengatakan tidak boleh meneteskan airmata, pastilah Satimin akan menahan diri sekuat tenaga untuk menahan bobolnya airmata. Pasti dia bisa.

“Lihat mata saya, pak. Kalau penuh semangat seperti ini, insya Allah usaha kita akan berhasil.”

Satimin betul-betul mematuhi perintah Nadira. Dia melihat ada serangkaian sinar yang terurai dari kedua bola mata Nadira. Dan Satimin paham, Nadira tengah mengatakannya dengan jujur: dia, seperti juga Andara, Yosrizal dan Utara bersemangat membela Satimin dan kawan-kawannya.

Ketika akhirnya manajemen menyetujui tuntutan karyawan untuk mempertahankan keempat office boy itu—dan mengangkat mereka sebagai karyawan majalah Tera—Satimin segera melakukan satu hal yang paling dia pahami. Berterimakasih kepada Tuhan. Dia salat begitu lama.

Hal berikutnya yang dia lakukan adalah: berterimakasih kepada rekan-rekan redaksi yang galak-galak namun berhati baik itu. Satimin, Odi, Kosim dan Ahmad beramai-ramai membuatkan kopi jahe untuk seluruh warga lantai tujuh.


****

Bagi Satimin, segalanya sederhana saja. Tara dan Nadira seharusnya berjodoh. Bukankah Mas Tara selalu baik dan perhatian pada Nadira, dan bukankah Nadira nampaknya juga hanya percaya pada Mas Tara?

Tetapi Satimin juga percaya bahwa Gusti Allah sering menentukan hal-hal yang tak begitu dipahami manusia biasa. Misalnya kenapa dia dan ketiga rekannya hampir saja di PHK, lalu batal, tapi malah dijadikan karyawan setelah protes galak mas-mas redaksi. Satimin juga tak paham kenapa ibunda Nadira suatu hari, kabarnya, bunuh diri dan membuat Non Nadira bergelung di bawah kolong meja bertahun-tahun, hingga Satimin tak pernah bisa berbuat apa-apa. Bahkan bergalon-galon kopi jahe pun tak akan menyembuhkan hati Non yang baik hati itu. Satimin lebih tak paham lagi ketika ternyata Gusti Allah menjodohkan Nadira dengan lelaki lain. Bukan mas Tara yang baik hati itu. Masya Allah.

Kini Satimin duduk dengan hati duka. Dia mengaduk-aduk kopi itu, memarut-marut jahe dan mengucurkan gula merah.

“Untuk saya, Min?”

Astaga. Pak Guntur. Tumben amat Bapak Bos ke dapur.

“Untuk mas Tara, pak. Tapi ambil saja pak, nanti saya bikin yang baru buat mas Tara.”

“Kok tumben untuk mas Tara?”

Satimin terdiam. Dia melirik pada sehelai undangan pernikahan yang ditempel di dinding dapur: Nadira Suwandi dan Niko Yuliar. Guntur Wibisono segera menangkap sekejap pandangan mata Satimin.

Lalu dia memandang secangkir kopi jahe kesayangannya itu. Panas mengepul dengan aroma yang membangunkan syaraf kehidupannya. Dia tersenyum.

“Kasih Utara saja, Min. Nanti bikinkan saya yang baru.”

Satimin tersenyum.

Segelas kopi jahe itu diterima oleh sepasang hati yang terluka. Utara Bayu.

“Terimakasih.”

Satimin mengangguk dan memandang Nadira dari kejauhan yang sedang beberes karena sudah dijemput calon suaminya. Gusti Alah pasti punya maksud yang kita tak pahami. Demikian Satimin menghibur dirinya.


***

Di balik tirai, Jakarta tak lagi pekat. Matahari sudah mengetuk pagi dan mengetuk hati Satimin. Satimin bisa melihat beberapa untai sinar matahari yang menyelip. Jadi inilah hari Utara Bayu dan Kara Novena membuhulkan hubungan mereka. Sembari mengenakan batiknya, Satimin terus berdoa agar mas Tara berbahagia dengan pilihannya.

Lepas Zuhur, Satimin sudah kembali dalam keadaan berkeringat dan lelah. Dia duduk di teras muka rumahnya dengan wajah kuyu. Halimah segera membuatkan es teh tawar. Siang itu, matahari seperti mengibas-ngibaskan sinarnya hingga membuat warga bumi menggelepar.

“Bagaimana mas Tara dan mbak Vena, pak?” Halimah duduk di depan bapaknya yang tampak kalah oleh keringatnya sendiri. Dia terus menerus mengusapnya dengan handuk kecil.

Satimin mereguk es teh tanpa gula itu sekali teguk. Habis. Halimah terperangah.

“Ramai sekali, nak….”

“Ya pasti…bapak kan pernah bilang, mas Tara wartawan istana.”

“Yah….dia banyak teman juga, nak. Dan keluarganya besar sekali. Keluarga sugih.”

Halimah mengangguk. Dia sudah mau berdiri, tapi bapaknya menyuruh dia duduk kembali.

“Halimah, ibu pulang besok. Lusa, ajak Rozali ke sini…”

Halimah terperangah. “Bapak mau apa?”

“Bapak mau main catur sama dia. Kamu masak apa saja yang enak. Atur dengan ibu.”

Halimah terdiam. Dia memandang ayahnya. Masih bertanya.

Satimin menghela nafas. “Tadi Bapak menghadiri pernikahan mas Tara dan mbak Vena. Ramai. Ramai sekali. Bapak menyalami mereka. Dan Bapak bisa melihat mata mas Tara….”

“Kenapa mata mas Tara?”

“Matanya….seperti kehilangan cahaya”

Satimin menggeleng, ‘Bapak tidak mau melihat matamu seperti itu di hari perkawinanmu. Yang namanya pengantin, harus bercahaya…..”

Perlahan-lahan senyum Halimah mengembang. Dia mengangguk dan meninggalkan ayahnya.

Satimin masih duduk sendirian. Dia menyenderkan punggungnya yang terasa berantakan sembari bertanya-tanya, kemanakan Nadira kini. Apakah dia masih jauh di luar negeri atau dia sudah di Jakarta? Apakah Nadira tahu bahwa hingga kini, hingga hari perkawinan Tara, tampaknya namanya masih saja bertahta di hati Tara?


(dimuat di Femina Edisi Khusus Kartini, April 2010)

Jakarta, 2010

Jumat, 23 Desember 2011

Ayat Kursi

الله لااله الاهوالحي القيوم لا تأخزه سنةؤلانوم له مافى السموت وما فى الارض من زاالزي يثفع عنده الابازنه يعلم مابين ايد يهم وماخلفهم ولايحيطون بثي ءٍ من علمه الابماثاءوسع كرسيه السموت والارض ولايؤده حفظهماوهوالعلي العظيم
محمد حفظين

AKEELAH AND THE BEE



Ini adalah sebuah cerita tentang seorang gadis yang bernama Akeelah Anderson. Akeelah adalah gadis yang berumur 11 tahun. Akeelah bersekolah di Crenshaw Middle School, sebuah sekolah didominasi oleh bangsa yang berkulit hitam di South Los Angeles. Ayahnya meninggal saat Akeelah masih berumur 6 tahun. Dia tinggal bersama ibunya, Tanya, tiga saudaranya Kiana, Devon, dan Terrence, dan keponakan bayinya. Pada awalnya Akeelah merasa tidak suka dengan sekolahnya. Karena keadaan sekolah yang tidak terlalu bagus dan juga sarana prasarana sekolah yang tidak memadai. Namun, hal utama yang membuat Akeelah merasa tidak betah dengan sekolahnya yaitu sikap teman –temannya yang tidak baik terhadapnya. Teman-temannya selalu mengejeknya dan tidak suka dengan kepandaian yang dimiliki Akeelah.
Akeelah bisa dikatakan sebagai seorang anak kulit hitam yang cerdas. Ia merupakan siswa yang cerdas di sekolahnya. Walaupun sekolah tersebut bukanlah sekolah favorit, tetapi Akeelah mampu tumbuh menjadi siswa yang pintar terutama dalam mata pelajaran bahasa Inggris. Melihat kepintaran Akeelah, seorang gurunya yang bernama Ibu Cross meminta Akeelah untuk ikut lomba mengeja. Awalnya, Akeelah menolak permintaan dari gurunya. Alasannya karena ia menilai tidak mampu untuk ikut lomba berkelas seperti itu.
Inspirator utama Akeelah adalah papanya. Setiap kali ia memiliki masalah, maka ia akan memandang wajah papanya, dan ia merasa tenang. Dan akhirnya Akeelah bersedia untuk mengikuti perlombaan tersebut. Kepala sekolah, Pak Welch menyarankan kepada Akeelah untuk mengikuti perlombaan pada tingkat yang lebih tinggi. Seorang gurunya memperkenalkan Akeelah dengan seorang pelatih mengeja yang bernama Dr. Joshua Larabee. Akeelah berlatih dengan baik, dan pada akhirnya ia bisa lolos mewakili sekolahnya untuk ikut lomba mengeja tingkat regional. Ketika Akeelah mengikuti lomba mengeja tingkat regional, ia nyaris tidak bisa lolos ke babak selanjutnya lantaran tidak bisa mengeja satu kata. Akan tetapi, keberuntungan ternyata berpihak kepada Akeelah. Salah satu peserta didiskualifikasi karena ketahuan curang.
Pada perlombaan di tingkat regional, Akeelah bertemu dengan dan berteman Javier Mendez. Seorang anak laki-laki yang berumur 12 tahun yang menyukai Akeelah. Persahabatan mereka dimulai ketika ia membantu Akeelah pin bros, mengatakan bahwa ia tidak akan "menusuk dia". Javier mengundang dia untuk bergabung dengan klub mengeja di sekolah nya Woodland Hills tengah. Menuju lomba mengeja tingkat nasional tidaklah mudah. Banyak sekali hambatan yang harus dihadapi Akeelah. Ibunya tidak mengizinkan Akeelah ikut lomba ini karena Akeelah harus menyelesaikan ketertinggalan pelajaran pada musim panas. Sempat Akeelah menyerah, dan putus asa.
Namun setelah mendengar motivasi dari Dr. Larabee mampu membuat Akeelah yakin dengan kemampuan yang ia miliki. Sekarang, ia yakin bisa memenangi lomba mengeja di tingkat nasional.
Akeelah berlatih sungguh-sungguh dengan Dr. Larabee. Bahkan, ia berlatih dengan grup mengeja di sekolah Javier yang jauh dari sekolahnya. Di Woodland Hills, Akeelah bertemu Dylan Chiu. Seorang anak laki-laki yang pernah menjadi juara kedua pada Spelling Bee tingkat nasional selam dua kali berturut. Dylan meminta Akeelah menengeja kata "xanthosis". Namun, Akeelah salah mengeja dengan memulai kata tersebut dengan huruf “Z”. Dan Dylan mengatakan bahwa Akeelah membutuhkan seorang pelatih.
                Perlombaan mengeja tingkat nasional sebentar lagi. Akan tetapi, Dr. Larabee tidak bisa jadi lagi menjadi pembimbing Akeelah. Dr. Larebee meminta Akeelah menghapal 5000 kata. Akeelah belajar mengeja dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Tanpa pelatih nya, Akeelah kehilangan motivasi. Dia ditolak oleh sahabatnya, Georgia, dan merasakan tekanan dari lingkungannya untuk melakukan sebuah kebanggaan. Tapi setelah ibunya memberikan dia ide dari "50.000 pelatih", Akeelah merekrut pelatih lingkungan, termasuk anggota keluarganya, teman sekelas, guru, teman, dan tetangganya Derrick T, dan mempersiapkan dengan sungguh-sungguh. Setelah bergabung kembali dengan Dr Larabee, Akeelah pergi ke Washington, DC dengan ibunya, kakak tertua, sahabat, utama, dan Dr Larabee, tidak menyadari bahwa pelatihnya telah membayar untuk empat tiket untuk mereka.
                Setelah melalui beberapa tahapan dan rintangan ejaan kata yang sulit. Akhirnya Dylan dan Akeelah yang menjadi finalis. Konflik mulai memuncak ketika Akeelah mengetahui bahwa Dyland sering ditekan oleh papanya agar bisa menjadi juara pada lomba mengeja tahun ini. Suasana semakin menegang. Dan dengan sengaja Akeelah menyalahkan ejaan kata “Xanthosis” untuk membuat Dylan sebagai juaranya. Dylan mengetahui kesengajaan yang di lakukan Akeelah. Dengan kata yang sama Dylan pun menyalahkan ejaan kata “Xanthosis”. Dylan meminta waktu istirahat untuk menjelaskan kepada Akeelah bahwa kemenangan harus di capai dengan cara yang bersih, jujur, dan adil. Pertandingan pun di lanjutkan. Hingga pada akhirnya Dylan menyelesaikan kata terakhirnya yaitu “logorrhea”. Dan Akeelah pun mampu mengeja kata terakhirnya "pulchritude" dengan benar. Saat mengeja kata itu, Akeelah memiliki visi kerabat, tetangga, pelatih dan Mr Welch masing-masing dari mereka memberikan kontribusi satu huruf untuk kata.
                Oleh karena itu Dylan dan Akeelah menjadi Co-Champion. Kemenangannya tersebut menimbulkan sorakan bahagia dari Washington DC ke California.


Pesan moral:
“Kekuatan Cinta Mengalahkan Ketakutan dalam Diri”
Ketakutan terdalam kita adalah bukan karena kita tidak cakap. Kekuatan kita dalam mengukur. Kita bertanya pada diri kita sendiri siapa aku sehingga aku cerdas, hebat, berbakat, dan menakjubkan? Sebenarnya, siapa sebenarnya dirimu? Kita dilahirkan untuk membuat manifestasi. Kemuliaan Tuhan dalam diri kita. Dan begitu kita biarkan cahaya menyala, kita tanpa sadar berikan orang lain kesempatan untuk lakukan hal yang sama. Ketakutan itu ada dalam diri kita sendiri.





AKEELAH AND THE BEE

This is a story about a girl named Akeelah Anderson. Akeelah is a 11-year-old girl. Akeelah school at Crenshaw Middle School, a school dominated by dark-skinned people in South Los Angeles. His father died when Akeelah was aged 6 years. She lives with her mother, Tanya, three brothers Kiana, Devon, and Terrence, and her baby nephew. Akeelah initially felt like the school. Because of the state schools that are not too good and also the school infrastructure is inadequate. However, the main thing that makes Akeelah feel comfortable with the school that is the attitude of his friends who are not good for him. His friends are always teasing and do not like the intelligence possessed Akeelah.
Akeelah can be regarded as an intelligent black child. He is an intelligent student at his school. Although the school is not a favorite school, but Akeelah able to grow into a smart student, especially in English class. Seeing Akeelah cleverness, a teacher named Ms. Cross asks Akeelah to join the spelling bee. Initially, Akeelah refused a request from the teacher. The reason is because he was not able to assess the race like it classy.
Akeelah main inspiration was her father. Every time he has a problem, then he will see the face of her father, and he felt calm. Akeelah And finally willing to follow the race. The principal, Mr. Welch suggested to Akeelah to follow the race on a higher level. One of his teachers introduced Akeelah with a trainer named Dr. spelling. Joshua Larabee. Akeelah practicing well, and eventually he can get away with representing their school to participate in the regional spelling bee. When Akeelah follow the regional spelling bee, he could barely qualify for the next round because can not spell a word. However, luck was siding with the Akeelah. One participant was disqualified for getting caught cheating.
In the race at the regional level, Akeelah and friends met with Javier Mendez. A boy who was 12 years old who like Akeelah. Their friendship began when he helped Akeelah brooch pin, said that he would "stab him". Javier invites her to join the spelling club at his Woodland Hills middle school. Towards a national spelling bee is not easy. There are so many obstacles that must be faced Akeelah. His mother did not allow Akeelah this race because Akeelah must complete the lessons in the summer behind. Akeelah had surrendered, and despair.
But after hearing from Dr. motivation. Larabee believes Akeelah able to make with the abilities they possess. Now, he believes can win the national spelling bee.
Akeelah practicing with Dr. earnest. Larabee. In fact, he practiced with the group Javier spelling at school away from school. In Woodland Hills, Akeelah meets Dylan Chiu. A boy who had been a champion both on a national level Spelling Bee two successive dive.
Dylan asks Akeelah menengeja word "xanthosis". However, Akeelah misspelling a word starting with the letter "Z". And Dylan said that the need of a coach Akeelah.
The race spelled the national level soon. However, Dr. Larabee could no longer be a coach Akeelah. Dr. Larebee asks Akeelah memorize 5000 words. Akeelah learn to spell with the people around him. Without her coach, Akeelah loses motivation. He was rejected by his best friend, Georgia, and felt pressure from the environment to perform a pride. But after his mother gave him the idea of
​​"50,000 coaches' recruiting coach Akeelah environment, including family members, classmates, teachers, friends, and neighbors Derrick T, and prepare in earnest. After joining back with Dr. Larabee, Akeelah goes to Washington, DC with his mother, eldest brother, friend, principal, and Dr. Larabee, not realizing that the coach has paid for four tickets to them.
After going through several stages and hurdles spelling difficult words. Finally, Dylan and Akeelah is a finalist. The conflict started to rise when Akeelah know that Dyland often pressured by her father in order to become champions at this year's spelling bee. Increasingly tense atmosphere. Akeelah and deliberately blaming spelling the word "Xanthosis" to make the Dylan as a champion. Dylan knows that in doing Akeelah deliberate. By the same word blame Dylan spelling the word "Xanthosis". Dylan asked for time off to explain to Akeelah that victory must be achieved in a clean, honest and fair. Continue the game was on. Until Dylan finally finish the last word "logorrhea". Akeelah and was able to spell the last word "Pulchritude" correctly. When the spell that word, Akeelah has a vision of relatives, neighbors, coaches and Mr. Welch each of them contributed a letter to the word.
Therefore Dylan and Akeelah becomes Co-Champion. His victory sparked cheers happy from WashingtonDCtoCalifornia.


The moral:
§  "Power of Love Beat the Fear of Self"
§  Our deepest fear is not because we are incompetent. Our strength in the measure. We ask ourselves who am I that I'm intelligent, wonderful, talented, and fabulous? Actually, who you are? We are born to make a manifestation. The glory of God within us. And so we leave the light on, we unconsciously give other people a chance to do the same thing. Fear exists in ourselves.

Kamis, 22 Desember 2011

SINOPSIS ENDLESS LOVE


Kakak beradik Jun-suh dan Eun-suh adalah pasangan yang paling klop! mereka selalu kompak. Eun-suh yang ngga bisa main sepeda selalu manja sama kakaknya. Dan kakaknya benar-benar sayang sama dia. Jadi, apa yang Eun-su bilang, pasti dia dengerin. Keluarga mereka, yang statusnya orang kaya, juga sangat harmonis.   
Suatu hari, teman sekelas Eun-su yang paling pinter, Shin-ai meminta bantuan kepada Jun-su untuk melukis latar belakang gambar puisinya yang akan dipamerkan di hari pameran sekolah. Tapi Jun-su yang memang tidak terlalu dekat dengan wanita menolaknya dengan dingin, membuat Shin-ai sakit hati. Sehingga, ketika pelajaran olah raga, Shin-ai membalas dendamnya dengan mengerjai Eun-su. Hal ini membuat Jun-su marah. Eun-su berniat mencegah kakaknya untuk melabrak Shin-ai. Tapi ketika di perempatan jalan, ia tertabrak oleh truk dan harus dirawat di rumah sakit.
        Ternyata Eun-su kehilangan banyak darah. Ketika dokter menyebutkan bahwa golongan darah Eun-su adalah B, kedua orang tuanya kaget karena mereka berdua bergolongan darah O. Mana mungkin Eun-su bergolongan darah B sedangkan mereka bergolongan darah O. Akhirnya sang ayah mencari informasi tentang Eun-su dan bayi yang lahir pada tanggak 4 Oktober, tanggal lahir Eun-su.
        Hari itu, memang ada 1 bayi yang lahir di rumah sakit yang sama dengan Eun-su. Bayi itu berasal dari kaluarga Chui. Hari itu, ayah Jun-su membawa Jun-su ke ruangan bayi untuk memperlihatkan Jun-su adiknya yang baru lahir. Tapi siapa disangka, Jun-su yang juga masih kecil saat itu tidak sengaja menukar kartu nama kedua bayi. Sehingga akhirnya tertukarlah dua bayi itu. Dan ternyata, anak kandung mereka adalah Shin-ai.
        Orang tua Jun-su menemui orang tua Shin-ai, mereka mengatakan ingin bertemu dengan anak mereka. Jun-su yang mengintip pembicaraan dari balik tembok kertas merasa terpuku mendengar hal ini. Adiknya yang selama ini ia sayangi, ternyata bukan anak kandung orantuanya. Dan yang lebih membuatnya terpukul adalah kenyataan bahwa ia mengenal adik kandungnya, Shin-ai.
        Pada akhirnya Eun-su dan Shin-ai mengetahui hal ini. Shin-ai tentu saja merasa senang bsa kembali pada kehidupannya yang seharusnya bersama keluarga kaya. Sedangkan Eun-su, dari awal dia adalah anak yang berbakti, ia pun menerima kenyataan bahwa ia bukanlah anak kandung dari orang tua Jun-su. Ia bukan adik Jun-su. Ia tinggal bersama ibu kandungnya dalam kesengsaraan. Kakaknya suka main kasar. Tapi, dibalik senyumnya setiap melihat ibu kandungnya, sebenarnya ia sangat merindukan ibu yang membesarkannya, ibu Jun-su.
        Keluarga Yun (keluarga Jun-su) memutuskan untuk membawa anak mereka. Shin-ai dan Jun-su pindah ke Amerika karena ibu mereka tidak sanggup melihat kehidupan putri yang dulu ia besarkan dalam kehangatan keluarga hidup sengsara bersama keluarga miskin, bahkan tanpa seorang ayah karena ayah kandungnya sudah meninggal. Awalnya mereka ingin membawa Eun-su pergi bersama mereka. Ibu kandung Eun-su pun sudah setuju karena ia takut Eun-su tidak bisa bertahan di lingkungan miskin, apalagi menghadapi kakaknya yang kasar. Eun-su merasa senang pada awalnya. Tapi ia tidak ingin berpisah lagi dengan ibu kandungnya. ia tidak ingin meninggalkan ibu kandungnya sendirian bersama kakaknya yang hanya bisa menghabiskan uang. Akhirnya, Eun-su memutuskan untuk tidak ikut pergi.
        Beberapa hari sebelum mereka pergi, Eun-su dan Jun-su banyak menghabiskan waktu bersama. Jun-su melukiskan wajah Eun-su diatas pasir di pantai. Sampai akhirnya Eun-su bertanya pada Jun-su, "Kau mau jadi apa?".
Jun-su yang heran mendengarnya hanya menatap Eun-su.
Dan Eun-su menjawab pertanyaannya sendiri. "Kalau aku, aku ingin menjadi sebatang pohon."
"Kenapa?"
"Karena, pohon selalu berada di tempatnya. Walaupun tertimpa badai, ia selalu berada di tempatnya, bersama orang-orang yang ia sayangi."
Akhirnya, Jun-su pergi tanpa kata-kata terakhir untuk Eun-su.
10 tahun berlalu, Jun-su kembali ke Korea bersama tunangannya, Shin Yu-mi untuk mencari cinta pertama Jun-su. Jun-su beralasan ingin memberitahunya kalau ia akan menikah. Yu-mi pernah berkata pada Jun-su. "Aku penasaran, ingin bertemu cinta pertamamu. Siapa nama cinta pertamamu?"
"Sebatang pohon," jawab Jun-su.
Selama sepuluh tahun ini, Eun-su dan keluarganya sering berpindah pindah tempat tinggal karena takut dikejar rentenir tempat kakaknya meminjam uang. Jun-su jadi sangat sulit menemukan Eun-su. Padahal, Eun-su bekerja di hotel milik sahabatnya, Han Thai-su sebagai resepsionis. Thai-su sering sekali menelpon bagian resepsionis untuk menggoda Eun-su yang mengaku sebagai bibi Chui berusia 37 tahun dengan 2 orang anak. Tapi akhirnya, jati diri 'Bibi Chui' akhirnya diketahui.
 Thai-su jatuhcinta kepada Eun Suh. Dengan kekuasaan yang dimiliki nya, ia mengangkat Eun Suh menjadi House Keeper pribadi nya.
Thai-shu dan Eun Suh pun memiliki banyak waktu bersama.
Sebenarnya, Jun suh pernah bermalam beberapa hari di kamar Thai-suh. Tapi ia sekalipun tidak pernah sekalipun bertemu dengan house keeper cantik yg diceritakan Thai su. Ia hanya berhubungan dengannya beberapa kali melalui telepon.
Ketika Jun-su pergi berjalan-jalan bersama kakak kelasnya di pinggir sungai dekat pantai, ia melihat seseorang yang mirip dengan adiknya dulu, Eun-su. Akhirnya setiap hari ia mendatangi tempat itu untuk menemukan Eun-su. Tapi sayang, Eun-su sudah pindah ke mess hotel agar ia lebih mudah berangkat kerja.
Beberapa hari setelah itu, Eun-su dipaksa dijodohkan oleh kakaknya dengan orang tua kaya, tempat kakaknya selama ini bekerja. Thai-su yang tidak terima membawa kabur Eun-su. Ketika itulah      Eun-su bertemu dengan Jun-su.

Eun Suh berusaha menghindari kakaknya dengan tinggal di rumah Jun-su. Ia mengaku kepada Yu-mi dan Thai-su sebagai adik sepupu Jun-su. Tapi justru, mereka saling jatuh cinta seiring berlalunya waktu. Kisah masa lalu menambah kuat cinta mereka. Ketika orang tua Jun-su mengetahui hal ini, mereka marah dan tidak bisa menerimanya. Akhirnya, Jun-su dan Eun-su melarikan diri ke rumah di dekat peternakan yang dulu pernah ditempati Eun-su. Mereka merayakan ulang tahun Eun-su disana hari itupun Jun-su melamar Eun-su. Eun-su bercerita kepada Jun-su bahwa ia mengukir nama cinta pertamanya di sebuah pohon. Jun-su mendatangi pohon itu dan merasa senang ketika melihat namanya terukir disana. Tapi akhirnya keberadaan mereka diketahui oleh Thai-su yang mendapat informasi dari kakak Eun-su yang menguping pembicaraan Eun-su dan ibunya di telepon. Akhirnya mereka bertiga kembali pulang.
Jun-su memproklamirkan keinginannya untuk menikahi Eun-su dihadapan orang tuanya. Yu-mi yang mengetahui bahwa selama ini Jun-su tidak pernah mencintainya berusaha untuk bunuh diri dengan mengiris pergelangan tangan kanannya. Jun-su merasa bersalah dan bersedia berjanji kepada Yu-mi untuk tidak meninggalkannya. Mereka berniat untuk kembali ke Amerika begitu tangan Yu-mi sembuh. Tapi Yu-mi justru membohongi Jun-su dengan berkata bahwa ia masih memerlukan perawatan. Sebenarnya, ini hanya alasan baginya untuk selalu bersama Jun-su.
Selama itu, Thai-su berusaha membuat Eun-su jatuh hati padanya. Ia memberikan hal-hal yang bisa membuat Eun-su mencintainya. Tapi apapun usahanya, akhirnya ia mengetahui kalau Eun-su tidak akan pernah mencintainya sebagaimana ia mencintai Jun-su. Cintanya tidak akan pernah terbalas.
Eun-su mendatangi Jun-su yang akan segera pergi ke Amerika untuk mengucapkan selamat tinggal tanpa diketahui siapapun. Disana, Eun-su mengungkapkan perasaannya. Ia tidak ingin berpisah dengan Jun-su.
"Kau selalu mengatakan pada semua kalau kau mencintaiku. Tapi kau belum pernah mengatakan hal itu secara langsung kepadaku. 'Eun-su, aku mencintaimu'," kata Eun-su yang berada diatas dalam gendongan Jun-su.
"Kau ingin aku mengatakannya?"
"Tidak. Tidak sekarang. Aku ingin kau mengatakannya ketika kau kembali dari Amerika nanti. Agar aku selalu menunggu datangnya hari itu."
Suatu hari, Eun-su jatuh pingsan. Dokter memvonisnya terkena Leukimia. Thai-su yang mengetahui hal ini memohon kepada Eun-su agar memberinya kesempatan untuk membiayai semua pengobatan Eun-su di Seoul. Ia berjanji tidak akan memberi tahu siapapun tentang hal ini. Terutama Jun-su. Tapi ternyata keadaan menuntutnya untuk memberitahu hal ini kepada ibu kandung Eun-su. Eun-su membutuhkan sumsum tulang yang cocok secepatnya. Ternyata ibu kandung Eun-su mendatangi kediaman keluarga Yin dan memberitahukan hal ini pada mereka. Merekapun bersepakat untuk tidak memberi tahu Jun-su.
Penyakit Eun-su semakin parah. Eun-su jatuh koma. Saat itulah, Jun-su mengetahui kenyataan bahwa Eun-su sakit parah. Ia kecewa pada semuanya dan justru menghukum diri sendiri dengan mabuk-mabukan. Thai-su kecewa melihat tingkah sahabatnya. Ia mendatangi Jun-su dan menyuruhnya datang ke rumah sakit untuk menjenguk Eun-su. Tapi Jun-su menolak. Ia merasa kalau Eun-su menunggunya, sehingga, kalau ia datang kesana, Eun-su bisa pergi dengan tenang. Tapi akhirnya, ia memutuskan untuk menjenguk Eun-su. Siapa sangka kekhawatirannya justru berbalik. Eun-su bangun dari komanya dan meminta Jun-su membawanya pulang.
Eun-su yang mengetahui bahwa hidupnya tidak akan lama lagi berusaha menggunakan waktunya bersama Jun-su sebaik mungkin. Mereka banyak menghabiskan waktu bersama. Sementara itu, Yu-mi memutuskan untuk melepaskan Jun-su dan kembali ke Amerika. Sedangkan Thai-su, berusaha sekuat mungkin untuk menahan rasa cemburunya setiap kali melihat Jun-su bersama Eun-su.
Tapi takdir berkata lain. Eun-su akhirnya meninggal ketika Jun-su mengajaknya berjalan-jalan di pantai tempat Jun-su menggambar wajahnya dulu. Pada hari pemakaman Eun-su, Jun-su yang berniat untuk bernostalgia di dekat sekolah mereka justru mengalami kecelakaan.